Senin, 14 Juli 2014

Libur Oh Libur


Apa yang paling diinginkan oleh mahasiswa? Liburan. Iya, liburan. Terutama oleh mahasiswa miskin liburan seperti saya yang harus praktek lapangan saat bulan ramadhan. 5 bulan. dari bulan Mei. Hahahahaha *boboan*

 Dan yang paling sakit adalah kenyataan bahwa dompet saya ikut miskin seperti hati saya. Miskin perhatian. Kenapa gak ada yang ngertiin isi hati dompet saya?!


Ditambah saya harus menyusun laporan dari praktek ini. Kalian gak peka. Bicara soal laporan, apa kampus lain bahkan harus nyusun laporan sebelum skripsi? Laporan ini membuat dompet saya menangis. 

"Kamu gak ngertiin aku lagi, sist. Kamu tega! Aku sudah kering begini dan kamu terus menguras isi diriku?! Aku sudah lelah! Selamat tinggal!" -Dompet, 2010 - 2014.

 Apa yang lebih sakit dari warisan dompet berisi kertas-kertas bukti pembayaran kampus? Jumlah tagihannya. Karena pada masa-masa liburan ini seorang mahasiswa biasanya masuk dalam tahap ngidam barang baru. Buku baru, baju baru, sepatu baru, atau penunggu hati yang baru. Tapi di saat-saat kritis ini saya malah terjebak di tempat praktek tanpa mendapat hint akan mendadak dapat warisan 100 juta. Sudah jatuh, tengkurap pula.

Minggu ini saya dituntut harus sudah sidang laporan praktek kerja. Tapi sebelumnya, ujian dulu! Ujian seberapa dalamnya cinta saya pada kampus ini. Serius. Seserius kekagetan saya yang kemudian menyadari cinta saya bahkan jauh dari dalam untuk kampus karena tak lulus ujian ini. Kenapaah?! Apa yang kurang darikuuuh?! Aku cinta kamu sedalam isi mangkuk sop buaaaaah!!

Jadi saya harus ujian susulan dan sidang diundur. Padahal tanggal liburan sudah mepet dan tanda-tanda saya lulus ujian masih diragukan. Cinta saya masih kurang, menurut kampus. Dan praktek kerja saya disini akan berakhir seminggu lagi. Itu berarti : 1) Liburan, 2) Sidang lalu liburan.
Tapi kampus malah memberi opsi ketiga dimana saya harus : Ujian, Sidang, Liburan. Dengan catatan saya harus lulus ujian dulu. Luluskanlah sayaaaaaah!

Dompet saya sekarang hanya menyisakan kertas bukti pembayaran dan saya disini mengharapkan sebuah buku import yang belum di translate. Kalian tahu harganya kan? Iya, kadang hobi bisa menguras dompet lebih dari tagihan warteg buat sebulan. Sementara laporan terbengkalai dan tanda-tanda saya akan merampungkan daftar pustaka dan lampiran masih dipertanyakan. 

Akankah akhirnya saya bisa liburan dan lulus ujian? Akankah saya kemudian lulus sidang dan Lebaran di kampung halaman?? 
Persetan laporan, saya daftar jadi member Akatsuki saja! Bye, Konoha! *Galau lalu bershower di bawah air jemuran*

Postingan ini diikutsertakan dalam 1ST Anniversary Giveaway : Tunjukkan Keabsurdanmu

Read more…

Sah. Oke.

Aku ingin berada di suatu tempat tanpa harus menjadi seorang pengganggu. Aku ingin berada di suatu tempat dimana aku tidak merasa takut untuk menyapa.
Aku ingin tempat yang membebaskanku untuk tertawa tanpa takut disanggah. Aku ingin tempat yang membiarkanku tenggelam dalam sunyi namun memberiku tangan saat aku tak ingin sendiri...

Read more…

Senin, 12 Mei 2014

I Feel Like A Sinner

Pertama, kebetulan saya hanya seorang mahasiswi yang sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan di kantor kecamatan. Pulang PKL, rute angkot saya Kelapa-Dago lalu Cicadas-Elang. Setiap pulang praktek, lampu merah di jalur angkot pasti ada pengamen di beberapa titik. Rute Kelapa-Dago tidak setiap hari, sih. Lain cerita dengan pengamen di rute Cicadas-Elang. kadang ada 2 sampai 4 pengamen menghampiri angkot yang saya tumpangi di setiap lampu merah. Rasanya jadi kayak kewajiban ngasih receh ke pengamen karena terlalu sering ketemu.

Sore ini (Senin, 12 mei 2014) saya menaiki angkot Cicadas-Elang yang hampir penuh penumpang. Di lampu merah dekat Hotel Papandayan ada pengamen yang menghampiri tapi tidak ada satupun dari mereka yang memberi receh. Oke, pengamennya woles. Kemudian angkot berhenti di lampu merah sebelum Seskoad dan lagi-lagi, ada pengamen menghampiri. You see, mereka tidak memberi receh juga. Pengamen itu pergi.

But, dari pinggir jalan pengamen itu tiba-tiba berteriak, "Sing kiamat lah, meh modar!". Saya gak ngerti kenapa dia sampai teriak begitu gara-gara gak dikasih. Lagipula, kalau kiamat ya dia ikut mati juga.

-cut-

Jadi kembali ke permasalahan awal. Apakah kita memang harus selalu memberi pada pengamen agar mereka senang? Pertanyaan kedua, kenapa angkot yang saya naiki banyak ketemu pengamen?

Saya gak ngerti apakah memang dosa kalau tidak memberi sampai-sampai pengamen itu melanjutkan dengan berteriak "Iblis!" saat angkot melewatinya lagi. Dan apakah saya sudah menjadi pendosa karena gak ngasih?

Saya sering bawa receh buat pengamen to the point that I feel so empty if I didn't give money to them. Seperti refleks karena kejadiannya berulang terus-terusan.

Kenapa rasanya semakin kesini banyak wajah-wajah baru di jalanan? Kenapa sepertinya turun ke jalan menjadi sebuah kenyamanan sampai mereka hanya bergantung pada mengamen?

Saya tahu, pemerintah punya program pembinaan untuk orang-orang yang turun ke jalan, tapi di lapangan masih banyak terlihat pengamen dewasa sampai anak kecil yang 'betah' di jalan. Kenapa? Juga kenyataan bahwa orang jalanan dianggap 'keras' dan 'kasar'. Bisa disimpulkan sendiri artinya.

Dari banyaknya pengamen ini, dompet dan saya sendiri sudah lelah. Memang ada pengamen yang niat mengamen sampai dia baca puisi di pinggir angkot, suaranya bagus pula. Kalau begini kan penumpang rela memberi nilai lebih. Dibanding dengan pengamen yang asal nyanyi dan jika tidak dikasih nyolot pula. Apa semua pengamen itu harus dikasih receh?

Saya hanya ingin menanyakan kenapa bisa terjadi hal yang seperti ini?
Apa orang kecil seperti mereka yang tak mau berusaha? Apa orang yang bekecukupan yang tidak mau melirik mereka?

Apa orang kecil seperti mereka yang terlalu kasar sampai orang berkecukupan tidak mau melirik mereka? Apa orang berkecukupan yang terlalu angkuh sampai tidak mau membuka kesempatan untuk orang kecil?

Apa orang kecil itu terlalu tidak berpendidikan untuk bekerja? Apa orang berkecukupan itu melihat segalanya dari materil dan selembar ijazah?

Apa orang kecil itu yang berkoar hanya di belakang? Apa orang berkecukupan yang terlalu fokus ke jalur kendaraannya sampai tidak mendengar pada raungan mereka?

Coba naiki satu angkot dan lihat bagaimana kehidupan orang jalanan. Mereka mengamen, menjual koran, menjual makanan. Lalu lihat kehidupan mereka ketika menatapi kita dari pinggir jalan. Seakan kehidupan ditentukan oleh putaran roda mobil-mobil mewah yang berhenti di dekat mereka. Mereka mengamen, mengetuk pintu kacanya berharap agar dagangannya dibeli. Lalu apa? Orang itu sama sekali tidak melihat mereka.

Apa ini salah mereka yang memilih hidup di jalanan sehingga mengganggu konsentrasi mengemudi? Atau salah mereka yang membiarkan orang-orang itu terpaksa menggantungkan nasib di jalanan? Atau salah kita yang tidak memberi harapan agar mereka bisa hidup esok harinya?

Apa salah mereka yang kasar sehingga mereka dibenci dan dicap liar? Atau salah mereka yang tidak memberi pengajaran bagaimana untuk bisa hidup senang? Atau salah kita yang sebenarnya sudah tahu tapi tidak mampu berbuat apa-apa?

Seperti program pembinaan hanya kegiatan satu kali lalu lupakan dan mereka kembali ke jalan. Lagi-lagi saya tidak bisa mengerti...

Yah, ini hanya curahan isi kepala saya saja. Tulisan mahasiswa tidak semuanya harus dibaca kok. Serius. Tapi alangkah lebih baik jika dibaca, dicerna, lalu selanjutnya bebas mau diapakan   _(:3 」∠)_

Read more…

Senin, 07 Oktober 2013

Tsundere

Kalau kalian pikir mendapatkan cinta seorang tsundere itu semudah membalikkan meja makan, maka kalian harus pikir ulang. 
Biar kata pada akhirnya gue, Gilang Handika, resmi diangkat sebagai wakil asisten Kepala Sekolah, Yang Mulia Ikki, properti gue, masih jadi sumber penderitaan kepala gue. Dan sales fashion wanna be itu masih setia nawarin produknya ke gue. 
Jadi, kalau kalian pikir mendapatkan cinta seorang tsundere itu cukup dengan menyerahkan sekotak coklat bentuk hati, maka kalian harus lihat gimana jatuh tengkurapnya gue mengejar Yang Mulia Ikki.
TSUNDERE
Kalian tahu Akatsuki? Itu lho, grup teroris di serial anime Naruto? Doain gue, minggu depan gue ikut audisi penyaringan anggota baru. Dan jauhin Yang Mulia Ikki kalau kalian gak mau lihat sepatu membombardir dari udara.
xxx
Dulu, kalau Gilang tidak mau menambahkan sampai lima menit yang lalu, Gilang masih suka pada wanita-wanita berbadan ideal yang minim pakaian menyapanya genit sambil meraba-raba tubuhnya, sebelum rabaan itu terganti ciuman sepatu Adidas putih di pipinya dan sapaan genit digantikan jeritan dramatis wanita-wanita seksi itu.
Sungguh, baru pertama ini Gilang merasakan fatamorgana, dunia jungkir balik, shock therapy, atau apapun itu, sosok wanita cantik tiba-tiba berubah menjadi pemuda yang mengayunkan sepatu di depan wajahnya.
“Kenapa? Belum pernah ditampar sepatuku?” oke, yang tadi itu sepatunya.
“Aku ketua seksi keamanan sekolah!” ucapnya garang. Matanya memicing pada Gilang yang masih syok, “Tak ada toleransi untuk siswa yang datang terlambat! Dan …” lalu beralih pada tiga siswi yang agak menjauh dari tempatnya, “Tidak ada toleransi untuk pakaian ketat dan rok mini! Ganti sekarang atau kalian akan berkeliling sekolah ini dengan memakai karung!”
Tiga siswi itu mengangguk cepat kemudian berlari entah kemana, sementara Gilang yang speechless itu hanya bisa melongo menatap kepergian sang pemuda yang berjalan agak pincang- akibat sepatu kiri di kaki sementara sepatu kanan dipegang erat di tangan.
Wanita, sepatu, pemuda, sentakan, ketua seksi keamanan sekolah, dan kini setelah lima menit berlalu Gilang baru bisa mencerna apa yang kelak akan terjadi. Sepertinya pindah ke sekolah ini bukanlah ide yang bagus.
Tapi anak yang tadi itu manis juga, ngomong-ngomong.
xxx
“Kemari kau, tikus payah!”
Kurang dari empat jam, di hari yang sama, Gilang tahu beberapa hal abnormal di sekolah ini. Mulai dari peternakan kelinci yang over-exposed alias tak tahu tempat karena berada di tengah taman sekolah, kantin bernuansa militer, toko yang sedia macam-macam souvenir juga keperluan kucing yang awesome-nya nemplok di sebelah kantin dan seorang guru sejarah yang kelewat megah- kondenya.
Juga tak terlupakan ketua seksi keamanan sekolah yang kini tengah mengejar tikus. Dalam konotasi positif, sambil mengacungkan raket tenis.
“Tikus pencuri!”
Kalau dulu Gilang menyukai tipe dada besar, kali ini dada rata sepertinya tidak masalah. Laki-laki yang tingginya hanya mencapai dagu Gilang itu sangat menarik. Hanya saja sifatnya agak …
“Pergi kau ke neraka tikus jelek!”
… sadis. Hal pertama yang harus diingat baik-baik oleh Gilang. Walaupun begitu, tetap saja dia-
“Kau yang tadi pagi ‘kan! Kau menguntitku, ya? Stalker!”
-manis dan menggemaskan!
Buk!
Meskipun begitu sepatunya tetap menyakitkan jika hinggap di kepala. Sifat kedua yang harus dicatat: dia hobi melempar sepatu.
“Hai, aku Gilang. Kamu?” tersenyum kaku sambil mengulurkan tangan, Gilang berharap dapat sedikit reaksi dari pemuda yang hanya berdiam di depannya. Berancang-ancang melempar sepatunya di wajah Gilang.
“Melempar seseorang dengan sepatu sebelum tahu namanya itu tidak sopan lho. Setidaknya kau bisa menurunkan sepatumu dan membalas uluran tanganku,” Gilang bicara lebih pelan, sedikit membelakangi orang-orang yang kini menatapnya. Hell, dia lupa sedang berada di peternakan kelinci saat ini. Kurang dari satu menit dalam keadaan kaku, pemuda itu berbalik, memakai kembali sepatunya dan memugut raket tenis yang ia jatuhkan.
“Ikki,” ucapnya setengah hati. Mendelik pada Gilang seraya menyampirkan raket tenis di pundaknya, “Lagipula sepatuku bersih.”
Kemudian pemuda bernama Ikki itu meninggalkan Gilang yang dipandangi aneh oleh orang sekitarnya. Mereka jadi pusat perhatian, untuk keterangan.
“Padahal kalau sepatunya ditinggal, aku bisa memanggilnya Cinderella,” ujar GIlang menerawang.
Gilang tidak melihat raket tenis melayang ke arahnya.
xxx
            Jika gilang tidak kehilangan hitungannya, lemparan sepatu pagi ini bisa menjadi yang keduabelas kali, setelah yang terakhir di hari kemarin sukses membuatnya jatuh dari tangga dan pingsan 5 menit, oleh pelaku yang sama. Ikki, ketua keamanan sekolah yang manis (tapi sadis).
            “Sapaan selamat pagi, eh?” rutuknya. Ikki menatap sengit, sepatu di tangannya berayun ringan, siap melayang.
            “Terlambat. Detensi.”
            Gilang mendesah. Baru satu hari menginjakkan kaki di sekolah itu dan imagenya sudah jatuh telak karena pemuda ini. Well done, gagal usahanya menarik perhatian wanita cantik disana.
            “Kelas.”
            Catatan mental kedua yang hampir, HAMPIR digarisbawahi oleh Gilang tentang Ikki : irit bicara. Sebelum seorang siswa bergaya mewah datang menautkan lengannya di bahu Ikki.
            “Being quiet all of sudden, Ikki?” tanyanya dengan senyum (yang menurut Gilang) menyebalkan.
            “Off,” Ikki mendesis. Terlihat jelas Ikki iritasi dengan orang ini.
            “Bad mood, aren’t we? Tentu Polo dan Armani bisa menghiburmu. Mereka launching koleksi terbarunya hari ini.”
            Gaya glamor, sikap agresif, sok dekat, tangan bergerilya kesana kemari … err, apa yang ada di pinggang Ikki itu tangannya? … tipikal metroseksual.
            Tentu Gilang tak bisa berpura-pura tak melihat tangannya meraba-raba tubuh Ikki dan sudah sampai di sabuknya, entah kemana yang satu lagi. Tapi satu tangan itu sudah cukup membuatnya geli. Ikki adalah (calon) properti miliknya!
            “And sure Adidas will suit you.”
            “Off, jerk! Sure I’ve told ya about yer fuckin’ dirty mind on me unless ya didn’t have something called ears! Oh, forget about ears, sure plebeian like ya couldn’t get it because ya have too small fuckin’ brain and it was damaged! Now, let’s make this easy, peasant. Stay away or I’ll fuckin’ kill ya!”
            Detik berikutnya siswa itu tersungkur memegangi perutnya. Gilang yang sebenarnya sudah bersiap menyelamatkan Ikki hanya bisa membatu. Menatap kepergian propertinya sambil membuat dua catatan mental sekaligus : Ikki adalah orang yang talkactive dan kata-katanya menusuk.
xxx
            “Dia sedang makan wortel, Pak….”
            “Bukan urusan saya!”
            Sebenarnya, merengek untuk menolak pekerjaan sama sekali bukan kebiasaan Gilang.
            “Tapi itu wortel rebus!”
            “Apa hubungannya dengan saya?!”
            Dan menggerakkan tubuhnya seperti kelinci juga bukan cara Gilang mengalihkan perhatian.
            “Pak, alien pemakan tumbuhan jatu dari langit!”
            “Alien tidak makan tumbuhan!”
           Tanyakan saja pada objek-calon-properti-yang-tak-mau-ditemui Gilang saat ini di peternakan kelinci. Memakan wortel rebus.
           Pagi tadi, setelah Ikki mencak-mencak dan tidka menghiraukan Gilang, muncul tiga pria metroseksual lain yang menggoda Ikki. Terang saja Ikki langsung berteriak geram, melempar pot bunga, meneriakkan kata-kata berwarna bak bianglala dengan salam perpisahan, “Jangan mengganggu kalau kau masih mau kepalamu menempel di badanmu!”
            Begitulah bagaimana Ikki berakhir di peternakan kelinci, memakan wortel rebus sementara Gilang dan guru Ekonominya mengintip di balik tiang terdekat, membawa map polkadot.
            “Ayolah, Gilang! Masa depan dipertaruhkan di tanganmu!” rajuk sang guru Ekonomi.
            Sang pahlawan tengah berada dalam misi menyerahkan proposal pada Asisten Kepala Sekolah. Guru Ekonomi mendorong sang pahlawan dari balik tiang. Sang pahlawan mundur kembali karena takut aura menyeramkan Asisten Kepala Sekolah. Guru Ekonomi merengek, sang pahlawan menggeleng keras. Asisten Kepala Sekolah duduk tenang di peternakan kelinci namun menyebarkan aura membunuh.
            Ganti sang pahlawan dengan Gilang dan Asisten Kepala Sekolah dengan Ikki. Kalian akan tahu bagaimana dilemma seorang Gilang Handika.
            “Ayolaaaah!”
            “GRAAAH!”
            Berjalan bak Hulk putih abu kena diare, Gilang menghampiri Ikki, yang langsung menyebar aura paling menyeramkan saat menyadari kedatangan Gilang.
            Hell yeah! Gilang tak tahu darimana datangnya keberanian menatap Ikki sambil berencana mengatakan, “Aku tak mau tahu apapun! Tandatangani proposal ini lalu aku akan melamarmu di Istana Presiden!”
            Namun rencana hanyalah rencana. Aura menyeramkan dari Ikki membuat langkahnya konstan memelan dan berhenti tepat 1 meter di depan Ikki. Masih saling bertatap.
Tapi Gilang sempat mencatat apa yang dilakukan Ikki tadi. Untuk pertama kalinya taka da sepatu dan barang hanya-Ikki-tahu-apa melayang padanya setelah 30 detik Ikki menyadari kehadiran Gilang.
            Lebih parah lagi, ya itu, yang dilakukan Ikki tadi. Jika biasanya Ikki akan melewati segala jenis formalitas dan langsung mengamuk, kali ini Ikki memilih diam dan berbagi makanan dengan kelinci. Secara verbal, benar-benar berbagi makanan. Kalau saja Gilang tidak punya derajat coolsense yang tinggi, GIlang pasti sudah tergagap menunjuk Ikki dan kelinci secara bergantian. Langka atau dinamakan apalah itu. Begini cara Ikki berbagi makanan :
1.      Ikki mengigit wortelnya
2.      Wortel disodorkan pada kelinci
3.      Kelinci menggigit wortel
4.      Wortel diambil kembali oleh Ikki
5.      Kembali ke poin satu dan baca berulang-ulang

“Berhenti menatapku seakan aku ini kelinci!”
Berikutnya kalian tahu kenapa ada wortel melayang. Poin kelima : (mungkin) Ikki penyayang binatang.
xxx
           Meski ayahnya berkata Gilang jauh dari kata pintar untuk pelajaran matematika; karena sampai SMP Gilang kekeuh menyatakan satu dikali satu sama dengan dua, Gilang menjadi orang yang dimintai tolong oleh Guru matematika.
        Setelah acara penyerahan proposal berakhir dengan sertifikat tidak halal oleh BUMN, kubu pihak metroseksual melakukan cara lain agar Asisten Kepala Sekolah (yang entah kenapa harus Ikki) menyetujui penggantian peternakan kelinci menjadi Toserba-dan patut dipertanyakan kenapa harus Toserba-; mengutus Gilang untuk ‘bicara empat mata’ dengan Ikki.
         Dalam arti mengajari perhitungan untung rugi dari adanya Toserba ini kelak. Dan tenyata memang tidak semudah menanam kaktus di kebun singkong.
        “please, Ikki, itu sama sekali nonsense,” rajuk Gilang setengah bingung.
      “Terakhir kali aku periksa itu sangat masuk akal,” Ikki berkeras. Menyilang kedua tangan di dada, ia menolak memperhatikan kertas penuh angka di mejanya.
        Gilang mendesah tidak sabar. Pembicaran ini harus dihentikan sebelum uban muncul di kepalanya. Jadi dengan tekad yang setengah dipaksakan dan niat mencuri kesempatan setengah, Gilang meletakkan kedua tangannya di masing-masing pipi Ikki.
       “Here we are, pertama kalinya bicara tanpa kehadiran sepatu dari udara, berdiskusi layaknya kita sudah lama saling kenal, bertatap dan bersntuhan layaknya pasangan ideal bahagia selamanya, dan kamu mengacaukannya dengan mengatakan DUA DITAMBAH DUA HASILNYA DUA! ARE YOU KIDDING ME?!”
      Dari perspektif ini, Gilang bisa melihat ekspresi Ikki berubah sedikit menjurus pada wajah sedih dan kecewa. Hatinya bergelut sendiri antara menahan untuk tidak menyerang bibir Ikki dan yang lainnya mencari cara agar terlepas dari suasana melodrama ini. Ini terlalu telenovela! Oh, Fernando Hoose, selamatkan dia! Dia tak sanggup melihat ekpresi Ikki yang seperti ini!
      “Maaf…” Gilang kembali ke tempat duduknya. Sambil menunduk dalam, Ikki bertahan diam sampai lima menit berikutnya ia mengucapkan kalimat yang makin membingungkan Gilang.
        “Dua itu angsa. Angsa ditambah angsa hasilnya dua angsa.”
        Sampai Ikki beranjak lalu berhenti di depan pintu-
        “Angsa itu bentuknya seperti angka dua.”
        -Gilang masih bingung.
       “Ibuku yang bilang begitu, jadi kupikir sekarang pun itu paling masuk akal!”
       Pintu ditutup saat Gilang mengangguk pelan.
      Catatan mental baru yang harus dimark dengan stabilo biru, hiasan stiker pelangi, teddy bear dan glitter silver: Ikki masih polos.
xxx

Read more…

Jumat, 20 September 2013

Kenapa Harus Benci Real Life?

Sedikit memberi pendapat tidak akan sakit, kan?

Pernah lihat ada yang posting kurang lebih seperti, "Orang-orang di real life gue payah semua. Gak ada yang ngertiin gue, mereka semua nyebelin. Lebih baik orang-orang disini, semua temen cyber gue lebih bisa ngertiin gue dari pada orang RL yang bego."

Oke, mungkin kata-katanya gak separah itu, tapi pasti kalian pernah lihat minimal sekali yang kayak gitu. Masalahnya adalah, kenapa mereka bisa terlalu bergantung pada orang cyber yang belum mereka temui sama sekali daripada orang di real world yang sehari-harinya hidup di sekitar mereka?

Apa benar orang di real world sepayah itu sampai mereka bisa berpikir hidup di real world itu gak ada gunanya?

Orang ini benci orang-orang di real world, dia mensibukan diri dengan orang di cyber world. Orang cyber world di seberang sama juga hidup di real world. Lalu apa bedanya cyber dengan real kalau mereka sama-sama hidup di bumi yang sama?

Hal yang begini biasa saya temui di RPW.

Ada satu orang yang selalu ingin disapa dengan kata-kata manis, jika kita mengatakan satu hal yang agak dingin padanya, dia akan menyalahkan dirinya sendiri, kalian akan merasa bersalah dan merasa kalian ini penjahat. Well, ini saya alami sendiri.

Entah saya ini kurang memiliki rasa iba atau pada dasarnya saya adalah orang yang kurang peduli pada hal-hal sensitif seperti ini, saya hanya menjelaskan padanya sekali dan meminta maaf. Lalu dari sana saya jarang berkomunikasi dengannya lagi karena, bung, itu terjadi pada orang lain yang kenal dengannya juga dan mereka berusaha keras agar dapat maaf darinya.

Saya hanya dapat mengambil satu kesimpulan kalau orang ini gak mau terima sisi kejam dari hidup dan mencoba mencari kesenangan sebanyak mungkin, tapi karena terlau fokus pada itu, dia gak sadar kalau dia ingin orang yang dekat dengannya harus menjadi seperti yang ia mau. Corrupt sedikit, end. Atau mungkin saya yang terlalu kejam karena tidak mau mengerti apa yang orang lain mau.

Dan ngomong-ngomong tentang orang yang benci real world, apa hidup mereka memang parah atau mereka cuma gak mau membuka mata ke sekitar. Karena sakit hati sekali, kemudian gak mau coba lagi. Banyak kasus yang seperti ini.

Kenapa harus benci? Kenapa menganggap hidup ini kejam dan gak ada gunanya? Kenapa selalu menyalahkan orang di sekitar? Kenapa selalu menganggap kalau dia adalah orang yang paling tersakiti di dunia ini?

Lalu kenapa jika pacarmu tidak ada saat kau butuh. Lalu kenapa jika tak ada orang yang datang saat kau menangis sendirian?

Ow, dramatis ya kata-katanya? Wake up, ladies. Dunia ini berputar meski tidak ada kau di dalamnya. Kita mungkin gak punya orang saat kita down. Lalu kenapa? di sekitar masih banyak hal yang bisa jadi distraksi daripada sekedar mengurung diri dan menceritakan pada semua orang di cyber world kalau hidup kalian sendirian.

Benar-benar sendirian atau kalian gak mau membuka mata pada orang di lingkungan nyata karena mereka gak sesuai dengan kriteria kalian? Kalau tidak pernah cerita, tidak akan tahu bagaimana hasilnya 'kan?

Ini yang bikin sedikit iritasi. Dengan drama hidupnya yang malang dan menarik semua orang masuk ke aura negatifnya. Kenapa harus benci mereka?

Meski seandainya cyber bisa jadi tempat mengadu tapi real life kalian yang akan jadi tempat pelarian saat kalian membutuhkan tangan.

Yang lebih bikin iritasi adalah ketika mereka bilang mereka benci keluarganya. Kenapa harus benci? Kalau memang benci, mereka bisa langsung pergi dari sana dan gak pernah menganggap mereka ada. Bagaimanapun keadaan mereka. Gak ada alasan belum punya uang untuk hidup sendiri, gak tahu tempat lain buat pergi. Kalau benci, kenapa gak pergi segera daripada hidup tertekan seperti itu. Kenapa harus dibenci kalau keluarga adalah rumah yang selalu ada saat dunia gak lagi bisa diandalkan. Meskipun cara di dalamnya berbeda. Itulah yang membuat mereka ada.

Pernah orang tua kalian ngusir? Kebanyakan mereka sadar kalau hidup gak seindah pikiran mereka, tapi mereka gagal menyadari kalau keluarga selalu ada disana bagaimanapun keadaannya.

Aaaand, sebenarnya saya masih punya banyak opini tentang apa yang sudah saya temui di timeline Twitter. Tapi, saya hanya menjanjikan sedikit opini, and this is it. Opini saya tentang kehidupan dramatis seseorang yang mengaku benci kehidupan Real Life-nya.

Kenapa harus benci kalau real life adalah tempat dimana kalian bisa melihat hal yang nyata, yang bisa disentuh dan dirasakan.

Kurang dimengerti? Well. itu kembali pada opini dan pandangan kalian sendiri. Persepsi kita semua berbeda 'kan? Adios~

Read more…

Minggu, 01 September 2013

Because twitter doesn't let me upload _(3

because twitter doesn't let me... _(3

Read more…

Kamis, 25 Juli 2013

Nyan Life

Hari ini belaian darinya juga kudapatkan, pula ada "Selamat pagi" yang kudengar ditengah sesi menguapnya. 

Aku meregangkan badan, dan jam di atas mejanya berdenting pelan. 

"Mau pergi lagi?" 

Matanya beralih sebentar padaku, meraih kepalaku untuk belaian yang kedua sebelum ia beranjak dari ranjangnya. Ada suara lain di luar ruangan, dan pemuda itu menghilang di balik pintu utama yang mereka sebut rumah. 

 Sekarang jam tujuh di pagi hari. 

"Mama!" 

Seorang wanita tersenyum padaku. Masih di rumah yang sama, ia meraihku untuk duduk di pahanya. Sementara detik terus berpuisi di sudut ruangan, aku mengamati bagaimana wanita itu bercakap sambil sesekali membalas pertanyaannya. 

"Sudah ngantuk?" 

Ia menguap kecil sebagai balasan. 

Aku melompat turun dari pahanya, membiarkan ia pergi ke tempat yang kuyakini sebagai kamar tidurnya. 

Sekarang jam duabelas siang. 

 Detik masih berpuisi saat di ujung mataku tertangkap bayangan si pemuda di pagi hari. Dan suara derap kaki yang mendekat di balik pintu. 

Aku menunggu. 

Wajah lelahnya yang pertama kudapati kala pintu terbuka, namun ia masih tersenyum melihatku tepat di ujung kakinya. 

"Selamat datang!" 

Ia meraihku dalam pelukannya. Sembari berjalan ke ruangan yang sama setiap pagi aku menyapanya. Satu kecupan, aku balas mengecupnya. Satu belaian, aku balas menyandarkan kepalaku ke dagunya. 

Selalu sama. Bagaimana ia menumpahkan afeksinya hanya untukku. Selalu sama, Bagaimana ia jatuh terlelap setiap aku bermanja di sela pelukannya, bagaimana ia melupakan pakaian bertitel seragam itu kusut setiap aku bergelayut di tangannya. 

Mungkin, tak ada manusia yang bisa selupa ini saat aku bersamanya. Aku mengeong pelan, membisikkan "Selamat tidur" lalu bersantai di perutnya. Belum ada rasa kantuk yang menyerang. 

Sekarang ini masih jam dua di siang hari.

Read more…