Kalau
kalian pikir mendapatkan cinta seorang tsundere itu semudah membalikkan meja
makan, maka kalian harus pikir ulang.
Biar
kata pada akhirnya gue, Gilang Handika, resmi diangkat sebagai wakil asisten Kepala
Sekolah, Yang Mulia Ikki, properti gue, masih jadi sumber penderitaan kepala
gue. Dan sales fashion wanna be itu masih setia nawarin produknya ke gue.
Jadi,
kalau kalian pikir mendapatkan cinta seorang tsundere itu cukup dengan
menyerahkan sekotak coklat bentuk hati, maka kalian harus lihat gimana jatuh
tengkurapnya gue mengejar Yang Mulia Ikki.
TSUNDERE
Kalian
tahu Akatsuki? Itu lho, grup teroris di serial anime Naruto? Doain gue, minggu
depan gue ikut audisi penyaringan anggota baru. Dan jauhin Yang Mulia Ikki
kalau kalian gak mau lihat sepatu membombardir dari udara.
xxx
Dulu,
kalau Gilang tidak mau menambahkan sampai lima menit yang lalu, Gilang masih
suka pada wanita-wanita berbadan ideal yang minim pakaian menyapanya genit
sambil meraba-raba tubuhnya, sebelum rabaan itu terganti ciuman sepatu Adidas
putih di pipinya dan sapaan genit digantikan jeritan dramatis wanita-wanita
seksi itu.
Sungguh,
baru pertama ini Gilang merasakan fatamorgana, dunia jungkir balik, shock
therapy, atau apapun itu, sosok wanita cantik tiba-tiba berubah menjadi pemuda
yang mengayunkan sepatu di depan wajahnya.
“Kenapa?
Belum pernah ditampar sepatuku?” oke, yang tadi itu sepatunya.
“Aku
ketua seksi keamanan sekolah!” ucapnya garang. Matanya memicing pada Gilang
yang masih syok, “Tak ada toleransi untuk siswa yang datang terlambat! Dan …”
lalu beralih pada tiga siswi yang agak menjauh dari tempatnya, “Tidak ada
toleransi untuk pakaian ketat dan rok mini! Ganti sekarang atau kalian akan
berkeliling sekolah ini dengan memakai karung!”
Tiga
siswi itu mengangguk cepat kemudian berlari entah kemana, sementara Gilang yang
speechless itu hanya bisa melongo menatap kepergian sang pemuda yang berjalan
agak pincang- akibat sepatu kiri di kaki sementara sepatu kanan dipegang erat di
tangan.
Wanita,
sepatu, pemuda, sentakan, ketua seksi keamanan sekolah, dan kini setelah lima
menit berlalu Gilang baru bisa mencerna apa yang kelak akan terjadi. Sepertinya
pindah ke sekolah ini bukanlah ide yang bagus.
Tapi
anak yang tadi itu manis juga, ngomong-ngomong.
xxx
“Kemari
kau, tikus payah!”
Kurang
dari empat jam, di hari yang sama, Gilang tahu beberapa hal abnormal di sekolah
ini. Mulai dari peternakan kelinci yang over-exposed alias tak tahu tempat
karena berada di tengah taman sekolah, kantin bernuansa militer, toko yang
sedia macam-macam souvenir juga keperluan kucing yang awesome-nya nemplok di
sebelah kantin dan seorang guru sejarah yang kelewat megah- kondenya.
Juga
tak terlupakan ketua seksi keamanan sekolah yang kini tengah mengejar tikus.
Dalam konotasi positif, sambil mengacungkan raket tenis.
“Tikus
pencuri!”
Kalau
dulu Gilang menyukai tipe dada besar, kali ini dada rata sepertinya tidak
masalah. Laki-laki yang tingginya hanya mencapai dagu Gilang itu sangat
menarik. Hanya saja sifatnya agak …
“Pergi
kau ke neraka tikus jelek!”
…
sadis. Hal pertama yang harus diingat baik-baik oleh Gilang. Walaupun begitu,
tetap saja dia-
“Kau
yang tadi pagi ‘kan! Kau menguntitku, ya? Stalker!”
-manis
dan menggemaskan!
Buk!
Meskipun
begitu sepatunya tetap menyakitkan jika hinggap di kepala. Sifat kedua yang
harus dicatat: dia hobi melempar sepatu.
“Hai,
aku Gilang. Kamu?” tersenyum kaku sambil mengulurkan tangan, Gilang berharap
dapat sedikit reaksi dari pemuda yang hanya berdiam di depannya.
Berancang-ancang melempar sepatunya di wajah Gilang.
“Melempar
seseorang dengan sepatu sebelum tahu namanya itu tidak sopan lho. Setidaknya
kau bisa menurunkan sepatumu dan membalas uluran tanganku,” Gilang bicara lebih
pelan, sedikit membelakangi orang-orang yang kini menatapnya. Hell, dia lupa
sedang berada di peternakan kelinci saat ini. Kurang dari satu menit dalam
keadaan kaku, pemuda itu berbalik, memakai kembali sepatunya dan memugut raket
tenis yang ia jatuhkan.
“Ikki,”
ucapnya setengah hati. Mendelik pada Gilang seraya menyampirkan raket tenis di pundaknya, “Lagipula sepatuku bersih.”
Kemudian
pemuda bernama Ikki itu meninggalkan Gilang yang dipandangi aneh oleh orang sekitarnya. Mereka jadi pusat perhatian, untuk keterangan.
“Padahal
kalau sepatunya ditinggal, aku bisa memanggilnya Cinderella,” ujar GIlang
menerawang.
Gilang
tidak melihat raket tenis melayang ke arahnya.
xxx
Jika gilang tidak kehilangan
hitungannya, lemparan sepatu pagi ini bisa menjadi yang keduabelas kali,
setelah yang terakhir di hari kemarin sukses membuatnya jatuh dari tangga dan
pingsan 5 menit, oleh pelaku yang sama. Ikki, ketua keamanan sekolah yang manis
(tapi sadis).
“Sapaan selamat pagi, eh?” rutuknya.
Ikki menatap sengit, sepatu di tangannya berayun ringan, siap melayang.
“Terlambat. Detensi.”
Gilang mendesah. Baru satu hari
menginjakkan kaki di sekolah itu dan imagenya sudah jatuh telak karena pemuda
ini. Well done, gagal usahanya menarik perhatian wanita cantik disana.
“Kelas.”
Catatan
mental kedua yang hampir, HAMPIR digarisbawahi oleh Gilang tentang Ikki : irit
bicara. Sebelum seorang siswa bergaya mewah datang menautkan lengannya di bahu
Ikki.
“Being
quiet all of sudden, Ikki?” tanyanya dengan senyum (yang menurut Gilang)
menyebalkan.
“Off,”
Ikki mendesis. Terlihat jelas Ikki iritasi dengan orang ini.
“Bad
mood, aren’t we? Tentu Polo dan Armani bisa menghiburmu. Mereka launching
koleksi terbarunya hari ini.”
Gaya
glamor, sikap agresif, sok dekat, tangan bergerilya kesana kemari … err, apa
yang ada di pinggang Ikki itu tangannya? … tipikal metroseksual.
Tentu
Gilang tak bisa berpura-pura tak melihat tangannya meraba-raba tubuh Ikki dan sudah
sampai di sabuknya, entah kemana yang satu lagi. Tapi satu tangan itu sudah
cukup membuatnya geli. Ikki adalah (calon) properti miliknya!
“And
sure Adidas will suit you.”
“Off,
jerk! Sure I’ve told ya about yer fuckin’ dirty mind on me unless ya didn’t
have something called ears! Oh, forget about ears, sure plebeian like ya couldn’t
get it because ya have too small fuckin’ brain and it was damaged! Now, let’s
make this easy, peasant. Stay away or I’ll fuckin’ kill ya!”
Detik
berikutnya siswa itu tersungkur memegangi perutnya. Gilang yang sebenarnya
sudah bersiap menyelamatkan Ikki hanya bisa membatu. Menatap kepergian
propertinya sambil membuat dua catatan mental sekaligus : Ikki adalah orang
yang talkactive dan kata-katanya menusuk.
xxx
“Dia
sedang makan wortel, Pak….”
“Bukan
urusan saya!”
Sebenarnya,
merengek untuk menolak pekerjaan sama sekali bukan kebiasaan Gilang.
“Tapi
itu wortel rebus!”
“Apa
hubungannya dengan saya?!”
Dan
menggerakkan tubuhnya seperti kelinci juga bukan cara Gilang mengalihkan
perhatian.
“Pak,
alien pemakan tumbuhan jatu dari langit!”
“Alien tidak makan tumbuhan!”
Tanyakan
saja pada objek-calon-properti-yang-tak-mau-ditemui Gilang saat ini di
peternakan kelinci. Memakan wortel rebus.
Pagi
tadi, setelah Ikki mencak-mencak dan tidka menghiraukan Gilang, muncul tiga
pria metroseksual lain yang menggoda Ikki. Terang saja Ikki langsung berteriak
geram, melempar pot bunga, meneriakkan kata-kata berwarna bak bianglala dengan
salam perpisahan, “Jangan mengganggu kalau kau masih mau kepalamu menempel di
badanmu!”
Begitulah
bagaimana Ikki berakhir di peternakan kelinci, memakan wortel rebus sementara
Gilang dan guru Ekonominya mengintip di balik tiang terdekat, membawa map
polkadot.
“Ayolah,
Gilang! Masa depan dipertaruhkan di tanganmu!” rajuk sang guru Ekonomi.
Sang
pahlawan tengah berada dalam misi menyerahkan proposal pada Asisten Kepala
Sekolah. Guru Ekonomi mendorong sang pahlawan dari balik tiang. Sang pahlawan
mundur kembali karena takut aura menyeramkan Asisten Kepala Sekolah. Guru Ekonomi
merengek, sang pahlawan menggeleng keras. Asisten Kepala Sekolah duduk tenang
di peternakan kelinci namun menyebarkan aura membunuh.
Ganti
sang pahlawan dengan Gilang dan Asisten Kepala Sekolah dengan Ikki. Kalian akan
tahu bagaimana dilemma seorang Gilang Handika.
“Ayolaaaah!”
“GRAAAH!”
Berjalan
bak Hulk putih abu kena diare, Gilang menghampiri Ikki, yang langsung menyebar
aura paling menyeramkan saat menyadari kedatangan Gilang.
Hell
yeah! Gilang tak tahu darimana datangnya keberanian menatap Ikki sambil
berencana mengatakan, “Aku tak mau tahu apapun! Tandatangani proposal ini lalu
aku akan melamarmu di Istana Presiden!”
Namun
rencana hanyalah rencana. Aura menyeramkan dari Ikki membuat langkahnya konstan
memelan dan berhenti tepat 1 meter di depan Ikki. Masih saling bertatap.
Tapi Gilang
sempat mencatat apa yang dilakukan Ikki tadi. Untuk pertama kalinya taka da sepatu
dan barang hanya-Ikki-tahu-apa melayang padanya setelah 30 detik Ikki menyadari
kehadiran Gilang.
Lebih
parah lagi, ya itu, yang dilakukan Ikki tadi. Jika biasanya Ikki akan melewati
segala jenis formalitas dan langsung mengamuk, kali ini Ikki memilih diam dan
berbagi makanan dengan kelinci. Secara verbal, benar-benar berbagi makanan. Kalau
saja Gilang tidak punya derajat coolsense yang tinggi, GIlang pasti sudah
tergagap menunjuk Ikki dan kelinci secara bergantian. Langka atau dinamakan
apalah itu. Begini cara Ikki berbagi makanan :
1. Ikki mengigit
wortelnya
2. Wortel disodorkan
pada kelinci
3. Kelinci menggigit
wortel
4. Wortel diambil
kembali oleh Ikki
5. Kembali ke poin
satu dan baca berulang-ulang
“Berhenti
menatapku seakan aku ini kelinci!”
Berikutnya kalian
tahu kenapa ada wortel melayang. Poin kelima : (mungkin) Ikki penyayang
binatang.
xxx
Meski ayahnya berkata Gilang jauh dari
kata pintar untuk pelajaran matematika; karena sampai SMP Gilang kekeuh
menyatakan satu dikali satu sama dengan dua, Gilang menjadi orang yang dimintai
tolong oleh Guru matematika.
Setelah acara penyerahan proposal
berakhir dengan sertifikat tidak halal oleh BUMN, kubu pihak metroseksual melakukan
cara lain agar Asisten Kepala Sekolah (yang entah kenapa harus Ikki) menyetujui
penggantian peternakan kelinci menjadi Toserba-dan patut dipertanyakan kenapa
harus Toserba-; mengutus Gilang untuk ‘bicara empat mata’ dengan Ikki.
Dalam arti mengajari perhitungan untung
rugi dari adanya Toserba ini kelak. Dan tenyata memang tidak semudah menanam
kaktus di kebun singkong.
“please, Ikki, itu sama sekali nonsense,”
rajuk Gilang setengah bingung.
“Terakhir kali aku periksa itu sangat
masuk akal,” Ikki berkeras. Menyilang kedua tangan di dada, ia menolak
memperhatikan kertas penuh angka di mejanya.
Gilang mendesah tidak sabar. Pembicaran
ini harus dihentikan sebelum uban muncul di kepalanya. Jadi dengan tekad yang
setengah dipaksakan dan niat mencuri kesempatan setengah, Gilang meletakkan
kedua tangannya di masing-masing pipi Ikki.
“Here we are, pertama kalinya bicara
tanpa kehadiran sepatu dari udara, berdiskusi layaknya kita sudah lama saling
kenal, bertatap dan bersntuhan layaknya pasangan ideal bahagia selamanya, dan
kamu mengacaukannya dengan mengatakan DUA DITAMBAH DUA HASILNYA DUA! ARE YOU
KIDDING ME?!”
Dari perspektif ini, Gilang bisa melihat
ekspresi Ikki berubah sedikit menjurus pada wajah sedih dan kecewa. Hatinya
bergelut sendiri antara menahan untuk tidak menyerang bibir Ikki dan yang
lainnya mencari cara agar terlepas dari suasana melodrama ini. Ini terlalu
telenovela! Oh, Fernando Hoose, selamatkan dia! Dia tak sanggup melihat ekpresi
Ikki yang seperti ini!
“Maaf…” Gilang kembali ke tempat
duduknya. Sambil menunduk dalam, Ikki bertahan diam sampai lima menit
berikutnya ia mengucapkan kalimat yang makin membingungkan Gilang.
“Dua itu angsa. Angsa ditambah angsa
hasilnya dua angsa.”
Sampai Ikki beranjak lalu berhenti di
depan pintu-
“Angsa itu bentuknya seperti angka dua.”
-Gilang masih bingung.
“Ibuku yang bilang begitu, jadi kupikir
sekarang pun itu paling masuk akal!”
Pintu ditutup saat Gilang mengangguk
pelan.
Catatan mental baru yang harus dimark
dengan stabilo biru, hiasan stiker pelangi, teddy bear dan glitter silver: Ikki
masih polos.
xxx