Pertama, kebetulan saya hanya seorang mahasiswi yang sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan di kantor kecamatan. Pulang PKL, rute angkot saya Kelapa-Dago lalu Cicadas-Elang. Setiap pulang praktek, lampu merah di jalur angkot pasti ada pengamen di beberapa titik. Rute Kelapa-Dago tidak setiap hari, sih. Lain cerita dengan pengamen di rute Cicadas-Elang. kadang ada 2 sampai 4 pengamen menghampiri angkot yang saya tumpangi di setiap lampu merah. Rasanya jadi kayak kewajiban ngasih receh ke pengamen karena terlalu sering ketemu.
Sore ini (Senin, 12 mei 2014) saya menaiki angkot Cicadas-Elang yang hampir penuh penumpang. Di lampu merah dekat Hotel Papandayan ada pengamen yang menghampiri tapi tidak ada satupun dari mereka yang memberi receh. Oke, pengamennya woles. Kemudian angkot berhenti di lampu merah sebelum Seskoad dan lagi-lagi, ada pengamen menghampiri. You see, mereka tidak memberi receh juga. Pengamen itu pergi.
But, dari pinggir jalan pengamen itu tiba-tiba berteriak, "Sing kiamat lah, meh modar!". Saya gak ngerti kenapa dia sampai teriak begitu gara-gara gak dikasih. Lagipula, kalau kiamat ya dia ikut mati juga.
-cut-
Jadi kembali ke permasalahan awal. Apakah kita memang harus selalu memberi pada pengamen agar mereka senang? Pertanyaan kedua, kenapa angkot yang saya naiki banyak ketemu pengamen?
Saya gak ngerti apakah memang dosa kalau tidak memberi sampai-sampai pengamen itu melanjutkan dengan berteriak "Iblis!" saat angkot melewatinya lagi. Dan apakah saya sudah menjadi pendosa karena gak ngasih?
Saya sering bawa receh buat pengamen to the point that I feel so empty if I didn't give money to them. Seperti refleks karena kejadiannya berulang terus-terusan.
Kenapa rasanya semakin kesini banyak wajah-wajah baru di jalanan? Kenapa sepertinya turun ke jalan menjadi sebuah kenyamanan sampai mereka hanya bergantung pada mengamen?
Saya tahu, pemerintah punya program pembinaan untuk orang-orang yang turun ke jalan, tapi di lapangan masih banyak terlihat pengamen dewasa sampai anak kecil yang 'betah' di jalan. Kenapa? Juga kenyataan bahwa orang jalanan dianggap 'keras' dan 'kasar'. Bisa disimpulkan sendiri artinya.
Dari banyaknya pengamen ini, dompet dan saya sendiri sudah lelah. Memang ada pengamen yang niat mengamen sampai dia baca puisi di pinggir angkot, suaranya bagus pula. Kalau begini kan penumpang rela memberi nilai lebih. Dibanding dengan pengamen yang asal nyanyi dan jika tidak dikasih nyolot pula. Apa semua pengamen itu harus dikasih receh?
Saya hanya ingin menanyakan kenapa bisa terjadi hal yang seperti ini?
Apa orang kecil seperti mereka yang tak mau berusaha? Apa orang yang bekecukupan yang tidak mau melirik mereka?
Apa orang kecil seperti mereka yang terlalu kasar sampai orang berkecukupan tidak mau melirik mereka? Apa orang berkecukupan yang terlalu angkuh sampai tidak mau membuka kesempatan untuk orang kecil?
Apa orang kecil itu terlalu tidak berpendidikan untuk bekerja? Apa orang berkecukupan itu melihat segalanya dari materil dan selembar ijazah?
Apa orang kecil itu yang berkoar hanya di belakang? Apa orang berkecukupan yang terlalu fokus ke jalur kendaraannya sampai tidak mendengar pada raungan mereka?
Coba naiki satu angkot dan lihat bagaimana kehidupan orang jalanan. Mereka mengamen, menjual koran, menjual makanan. Lalu lihat kehidupan mereka ketika menatapi kita dari pinggir jalan. Seakan kehidupan ditentukan oleh putaran roda mobil-mobil mewah yang berhenti di dekat mereka. Mereka mengamen, mengetuk pintu kacanya berharap agar dagangannya dibeli. Lalu apa? Orang itu sama sekali tidak melihat mereka.
Apa ini salah mereka yang memilih hidup di jalanan sehingga mengganggu konsentrasi mengemudi? Atau salah mereka yang membiarkan orang-orang itu terpaksa menggantungkan nasib di jalanan? Atau salah kita yang tidak memberi harapan agar mereka bisa hidup esok harinya?
Apa salah mereka yang kasar sehingga mereka dibenci dan dicap liar? Atau salah mereka yang tidak memberi pengajaran bagaimana untuk bisa hidup senang? Atau salah kita yang sebenarnya sudah tahu tapi tidak mampu berbuat apa-apa?
Seperti program pembinaan hanya kegiatan satu kali lalu lupakan dan mereka kembali ke jalan. Lagi-lagi saya tidak bisa mengerti...
Yah, ini hanya curahan isi kepala saya saja. Tulisan mahasiswa tidak semuanya harus dibaca kok. Serius. Tapi alangkah lebih baik jika dibaca, dicerna, lalu selanjutnya bebas mau diapakan _(:3 」∠)_
Sore ini (Senin, 12 mei 2014) saya menaiki angkot Cicadas-Elang yang hampir penuh penumpang. Di lampu merah dekat Hotel Papandayan ada pengamen yang menghampiri tapi tidak ada satupun dari mereka yang memberi receh. Oke, pengamennya woles. Kemudian angkot berhenti di lampu merah sebelum Seskoad dan lagi-lagi, ada pengamen menghampiri. You see, mereka tidak memberi receh juga. Pengamen itu pergi.
But, dari pinggir jalan pengamen itu tiba-tiba berteriak, "Sing kiamat lah, meh modar!". Saya gak ngerti kenapa dia sampai teriak begitu gara-gara gak dikasih. Lagipula, kalau kiamat ya dia ikut mati juga.
-cut-
Jadi kembali ke permasalahan awal. Apakah kita memang harus selalu memberi pada pengamen agar mereka senang? Pertanyaan kedua, kenapa angkot yang saya naiki banyak ketemu pengamen?
Saya gak ngerti apakah memang dosa kalau tidak memberi sampai-sampai pengamen itu melanjutkan dengan berteriak "Iblis!" saat angkot melewatinya lagi. Dan apakah saya sudah menjadi pendosa karena gak ngasih?
Saya sering bawa receh buat pengamen to the point that I feel so empty if I didn't give money to them. Seperti refleks karena kejadiannya berulang terus-terusan.
Kenapa rasanya semakin kesini banyak wajah-wajah baru di jalanan? Kenapa sepertinya turun ke jalan menjadi sebuah kenyamanan sampai mereka hanya bergantung pada mengamen?
Saya tahu, pemerintah punya program pembinaan untuk orang-orang yang turun ke jalan, tapi di lapangan masih banyak terlihat pengamen dewasa sampai anak kecil yang 'betah' di jalan. Kenapa? Juga kenyataan bahwa orang jalanan dianggap 'keras' dan 'kasar'. Bisa disimpulkan sendiri artinya.
Dari banyaknya pengamen ini, dompet dan saya sendiri sudah lelah. Memang ada pengamen yang niat mengamen sampai dia baca puisi di pinggir angkot, suaranya bagus pula. Kalau begini kan penumpang rela memberi nilai lebih. Dibanding dengan pengamen yang asal nyanyi dan jika tidak dikasih nyolot pula. Apa semua pengamen itu harus dikasih receh?
Saya hanya ingin menanyakan kenapa bisa terjadi hal yang seperti ini?
Apa orang kecil seperti mereka yang tak mau berusaha? Apa orang yang bekecukupan yang tidak mau melirik mereka?
Apa orang kecil seperti mereka yang terlalu kasar sampai orang berkecukupan tidak mau melirik mereka? Apa orang berkecukupan yang terlalu angkuh sampai tidak mau membuka kesempatan untuk orang kecil?
Apa orang kecil itu terlalu tidak berpendidikan untuk bekerja? Apa orang berkecukupan itu melihat segalanya dari materil dan selembar ijazah?
Apa orang kecil itu yang berkoar hanya di belakang? Apa orang berkecukupan yang terlalu fokus ke jalur kendaraannya sampai tidak mendengar pada raungan mereka?
Coba naiki satu angkot dan lihat bagaimana kehidupan orang jalanan. Mereka mengamen, menjual koran, menjual makanan. Lalu lihat kehidupan mereka ketika menatapi kita dari pinggir jalan. Seakan kehidupan ditentukan oleh putaran roda mobil-mobil mewah yang berhenti di dekat mereka. Mereka mengamen, mengetuk pintu kacanya berharap agar dagangannya dibeli. Lalu apa? Orang itu sama sekali tidak melihat mereka.
Apa ini salah mereka yang memilih hidup di jalanan sehingga mengganggu konsentrasi mengemudi? Atau salah mereka yang membiarkan orang-orang itu terpaksa menggantungkan nasib di jalanan? Atau salah kita yang tidak memberi harapan agar mereka bisa hidup esok harinya?
Apa salah mereka yang kasar sehingga mereka dibenci dan dicap liar? Atau salah mereka yang tidak memberi pengajaran bagaimana untuk bisa hidup senang? Atau salah kita yang sebenarnya sudah tahu tapi tidak mampu berbuat apa-apa?
Seperti program pembinaan hanya kegiatan satu kali lalu lupakan dan mereka kembali ke jalan. Lagi-lagi saya tidak bisa mengerti...
Yah, ini hanya curahan isi kepala saya saja. Tulisan mahasiswa tidak semuanya harus dibaca kok. Serius. Tapi alangkah lebih baik jika dibaca, dicerna, lalu selanjutnya bebas mau diapakan _(:3 」∠)_